expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Petapa Dan Pak Ambisius

Suatu hari di sisi bukit pegunungan tak bertuan, terdapatlah seorang petapa yang bijak. Tidak ada manusia disana selain petapa itu. Hanya ada para hewan seperti monyet, singa, harimau, ular, burung gagak dan lain-lain. Karena memang petapa itu lahir dan besar disana sudah puluhan tahun, tak heran bila ia mampu bercakap-cakap dengan para hewan yang ada di sekitar pegunungan itu.
Seperti biasanya, petapa menghabiskan waktunya dengan memijat batang-batang pepohonan, punggung para hewan dan mengambil makanan dan minuman sesuai kebutuhannya  satu hari. Lalu kembali duduk dan bertapa ditemani angin sepoi-sepoi dan para hewan. Itulah kegiatan sehari-harinya.
Terkadang ia memberikan kata-kata bijak,”Ketahuilah, terkadang kebaikan tak selamanya menang. tapi, selama kebaikan masih ada dihati kita maka Kebaikan Pasti selalu menang“. Para hewan sangat suka berbincang-bincang dengan si petapa yang bijak.
“Wuah, pegunungan ini sangat alami dan belum terjamah oleh manusia. Kita-lah penemu pegunungan ini, hahahahahahahha… kita harus segera memberikan nama atas pegunungan ini dan meng-klaim-nya bahwa ini milik kita”.
Beberapa pendaki gunung yang sudah berhari-hari berkeliling disekitar pegunungan. Bersorak kegirangan dan melakukan pesta satu malam penuh,  ditemani 4 ekor rusa hasil pemburuan mereka siang itu.
“Pak Ambisius, bagaimana bila ternyata pegunungan ini tidak seperti yang kita bayangkan? Jangan-jangan sebenarnya ada penghuninya dan kita bukanlah penemu hutan ini?” tanya seorang pendaki dengan perasaan gelisah dan khawatir.
“Jangan takut anak muda, Lihatlah! Siapa yang berada disini sekarang…? Kita…!!! apakah kamu melihat ada penghuni lain…? Tidak ada…!! Kita-lah Pemiliknya..” teriaknya, dengan wajah sangat ambisius dan penuh keyakinan.
“Kalau misalnya ada…?” tanyanya lagi yang kali ini membuat Pak Ambisius menatapnya sangat tajam.
“Usir dia atau lukai saja, tidak akan ada yang perduli,” ucapnya dengan nada dingin dan pandangan sangat menakutkan. Hingga membuat pendaki yang lain merinding ketakutan.
“Lihat! lihat! Wahai Petapa. Ada banyak makhluk yang sama denganmu di ujung jalan sana, apakah mereka hewan sejenis denganmu? Tapi mereka tampak tidak bersahabat,” teriak monyet dari kejauhan.
Petapa yang sedang memijat tubuh beruang terkejut dan berdiri untuk melihat mahluk yang sama dengannya. Ternyata benar, ada banyak sekali yang mirip dengannya disana. Tapi dari mana mereka datang? Apa yang mereka lakukan disini? Sedang apa mereka disana dengan kayu-kayu kecil ditangannya?
“Ayo kita dekati, Petapa,” ajak beruang dengan sopan. lalu mereka semua yang ada disana mendatangi sekumpulan para pendaki yang sibuk menancapkan kayu disekitar hutan.
“Salam! Selamat datang di hutan tak bertuan ini, siapa kalian?” tanya petapa dengan bijak. Pak Ambisius dan semua pendaki yang ada disana terkejut melihat satu orang manusia dan beberapa hewan liar mendatangi mereka. Lebih terkejut lagi saat mereka tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan petapa itu.
“Tampaknya dia pemilik hutan ini, Pak Ambisius,” bisik pendaki lainnya yang sedari tadi memegang kayu. Pak Ambisius yang merasa kehadiran Petapa ini menghalangi niatnya untuk memiliki pegunungan ini merasa tidak suka dan timbul niat didalam hatinya untuk membinasakan Petapa ini.
“Permisi, Tuan. apakah anda pemilik Pegunungan ini?” tanya Pak Ambisius dengan wajah selembut sutra. Dia menggerak-gerakkan tangannya untuk mempermudah Petapa mengerti maksud ucapannya. Tapi, petapa yang bijak ini memanglah mengerti apa yang sedang dibicarakan mereka. Bahkan percakapan para pendaki dibelakang Pak Ambisius juga dipahaminya. Petapa tahu bila mereka punya niat yang tidak baik pada pegunungan tak bertuan ini.
“Segeralah pergi dari hutan ini, sebelum kalian berniat merusaknya,” Petapa memberi peringatan kepada para pendaki. Tapi, lagi-lagi, telinga mereka tidak terbiasa mendengar bahasa yang digunakan petapa. Kecuali satu, yaitu pendaki yang bernama si Cemas.
“Dia berkata agar kita pergi dari sini,” ucap si Cemas kepada Pak Ambisius. Dan saat mendengarnya, marahlah Pak Ambisius, lalu secepat kilat diraihnya salah satu kayu dari tangan pendaki disebelahnya. Kemudian memukul petapa dengan sangat keras. Petapa jatuh dan mati.
Para hewan yang melihat perbuatan Pak Ambisius merasa marah dan berteriak. Melihat para hewan yang mengamuk,  sebagian pendaki ketakutan dan lari meninggalkan hutan. Sedangkan setengahnya lagi masih bertahan di hutan bersama Pak Ambisius.
“Para hewan-hewan ini tidak boleh menghalangi ambisi kita untuk memiliki hutan ini, tangkap mereka dan ikat. jangan dibunuh karna mereka bisa menghasilkan uang untuk kita,” teriak Pak Ambisius dengan penuh semangat dan segera mengejar para hewan yang mengamuk. Sebagian hewan yang terkena pukulan dan masih sanggup berdiri segera melarikan diri kedalam hutan. sedangkan yang lainnya pingsan dan tak berdaya saat diikat.
***
“Hadirilah Pembukaan Taman wisata, dan pertunjukkan hewan-hewan dari Hutan Ambisius. Mari, ajak keluarga beserta kerabat untuk menghabiskan liburan di Taman Wisata Ambisius. Mari!… Mari!… Mari!… kalian akan merasa seperti di Surga dan merasa menyatu dengan alam. Hanya bayar Rp. 15.000/Orang maka kalian akan segera mendapatkan pertualangan yang tak terlupakan”.
Pidato singkat Walikota di Kota Khayal mendapatkan tepuk tangan riuh dari warga dan pengunjung Taman Wisata. Pak Ambisius sebagai Walikota di Kota Khayal,  sedang sibuk berjabat tangan dengan banyak warga dan berfoto-foto.
“Kenapa para hewannya berwajah sedih, pak Walikota?” seorang anak perempuan berusia 7 Tahun menatap iba pada seekor beruang coklat.
“Mereka bukan bersedih, sayang. tapi mereka sedang menanti kedatanganmu untuk memberikannya sebuah tepuk tangan dan sekantong kacang. Harga sekantong kacang hanya Rp. 10.000 saja sebungkus, sangat murah,” ucap Pak Walikota dengan senyum sangatlah manis. Wajahnya yang berminyak tidak membuatnya lelah menyambut kedatangan pengunjung.
Sudah dibayangkannya berapa keuntungan lagi yang akan didapatkannya dari Pegunungan yang sekarang jadi miliknya. Sementara para hewan kehilangan keceriaannya lagi, semenjak kehilangan kebebasannya dan kehilangan Petapa selamanya.
*** T A M A T ***
Pernah di poosting juga di Kompasiana
Oleh Penulis:  Dorma Situmorang