expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kisah Celana Kekecilan

Setelah beberapa tahun meninggalkan kampus untuk studi lanjut, cuti hamil dan melahirkan dan lalu studi lagi, minggu ini aku mengajar kembali. Dua hari sebelum kelas pertama, aku berjuang membongkar lemariku untuk mencari-cari pakaian yang pantas dan nyaman untuk mengajar. Mengingat aku akan mengendarai sepeda motor, aku harus mencari pakaian yang aman untuk berkendaraan terutama untuk masalah bawahannya: celana panjang atau rok yang tidak terlalu pendek atau rok yang membatasi keleluasaan bersepeda motor. Selain masalah kepantasan, ini menyangkut masalah keamanan berkendaraan.
Singkat cerita, setelah 4 jam bongkar pasang dan mencoba sekian banyak pakaian kerja yang telah lama tak tersentuh itu - aku terduduk lemas dengan keringat mengucur dan lengan ngilu-ngilu. Tak satupun celana kerja mampu menampung tubuhku yang kini sudah jauh lebih "berisi" dibandingkan 7 tahun lalu. Ada dua rok lebar model "flare" yang masih muat, itupun dengan perut yang tampak menonjol seperti bumper truk. sisanya adalah rok dan terusan feminin yang berbentuk span dan tidak memungkinkan untuk digunakan bersepeda motor.
Hari pertama mengajar, aku sudah siap dengan rok lebar pertama dari hasil seleksi tersebut. aku sidah siap berangkat dengan helm di kepala, ketika suami mengatakan: "Bunda pake mobilnya, ayah perlu motornya karena lebih mudah mengendari motor saat jemput Neo nanti." Neo adalah anak kami yang baru kelas 1 SD dan jam sekolahnya berakhir pada jam 11, tepat saat aku masih mengajar. Jadi hari pertama tersebut aku mengendarai mobil suamiku.
Hari kedua, giliran memakai rok span yang todak terlalu ketat sehingga masih memungkinkan mengendari sepeda motor dengan cukup aman.Setelah siap berangkat, suami yang belum bersiap berangkat ke kantornya berkata: "Nda, ayah bawa motornya ya, biar ngga kentara datang siang-siang." Masuk akal. itu sudah jam 10 lewat, meskipun suamiku seharusnya mendapat permakluman datang ke kantornya lebih siang karena kemarinnya ia lembur hingga lewat tengah malam. Hari itu aku kembali mengendarai mobil suamiku.
Bunda, ayah nanti bertugas di beberapa tempat sekaligus dan ayah perlu mobilitas lebih tinggi. Ayah yang pake motornya lagi biar praktis ya. Bunda kan sekali parkir dan mengajar di satu tempat." Oh, baiklah. lebih praktis, memang. dengan sedikit terburu-buru aku mulai mengeluarkan mobil dari garase sementara otakku sudah menghitung-hitung berapa banyak menit yang bisa kuhemat jika aku mengendarai sepeda motor yang bisa lebih lincah di jalan raya.
Namun dalam perjalanan ke kampus pada hari ketiga itu, aku mulai berpikir. Selama ini suamiku sangat sering ngantor kesiangan atau terburu-buru. Suamiku juga sering harus berpindah-pindah tempat di kompleks kampus yang terdiri dari beberapa bangunan yang masing-masing terpisah ratusan meter. selama ini suamiku selalu mengendarai mobilnya. Apa yang berbeda minggu ini? AKU dan penugasanku kembali. Setiap kali saat akan berangkat ke kampus, suamiku ternyata menyermati pakaianku dan menilai seberapa sesuai pakaianku tersebut untuk mengendarai sepeda motor. Dan sepertinya rok itu tidak cukup aman bagi suamku, sehingga ia mulai mengontruksi alasan-alasan yang membuat aku harus mengendarai mobilnya.
Di perepatan depan kampusku, lampu merah menyala dan aku berhenti, mengusap air mata yang tak sadar sudah membasahi pipiku. Suamiku, begitu memikirkan kebutuhan istrinya dan mengalah dengan diam-diam demi keamananku. tanpa pamrih mengorbankan kenyamanannya dan menyembunyikan tangannya yang menyodorkan kenyamanan itu kepadaku. Ah, aku merasa semakin mencintainya dan ingin melakukan banyak hal untuk membahagiakannya. Akankah kukatakan kepadanya atau kulakukan diam-diam seperti caranya membahagiakanku?

by; Arie Suwastini